Halaman

Sabtu, 12 Oktober 2013

Lalok di Surau , Budaya Minang yang Mulai Ditinggalkan


Surau merupakan sebutan untuk tempat ibadah bagi masyarakat muslim yang berada di kampung. Surau biasanya dibangun di tepi-tepi sungai dan di ujung desa yang bertujuan agar dapat menjaga kekhusyukan masyarakat dalam melaksanakan ibadah. Selain itu, surau juga dijadikan sebagai  identitas umat Islam di perkampungan Minangkabau.
Selain sebagai tempat beribadah, surau juga merupakan tempat persinggahan dan istirahat bagi para musafir. Mereka memanfaatkan surau-surau yang ada disetiap kampung tersebut untuk menyebarkan agama Islam dan berbagi pengalaman hidup. Surau juga sering dimanfaatkan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak dan remaja. Tidak hanya itu, seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 6-7 tahun sudah diwajibkan untuk lalok di surau dan itu telah menjadi budaya di masyarakat Minangkabau sejak dahulunya. Kegiatan mereka ini dimulai dengan shalat magrib berjama’ah, setelah itu dilanjutkan dengan mengaji , dan mendalami ilmu agama Islam yang biasanya diajarkan oleh ustad yang ada di kampung. Mereka mendalami hukum agama Islam, belajar bagaimana berakhlak yang baik dan juga diberi bekal dengan berbagai pengalaman untuk menghadapi kehidupan di masa datang. Setelah shalat isya berjama’ah,  barulah para remaja mempelajari tafsir Al-Quran dan bagi yang lebih dewasa mereka diajarkan  pencak silat, lalu mereka beristirahat. Para remaja ini biasanya juga melaksanakan shalat subuh berjama’ah, setelah itu mereka  kembali ke rumah masing-masing.
Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengajarkan kemandirian dan kedisiplinan terhadap remaja. Mereka diwajibkan untuk lalok di surau, dengan begitu bisa mereka belajar mandiri diusia dini dan tidak lagi mengandalkan orang tua melainkan mereka  bisa belajar bersosialisasi dan menghargai teman. Shalat berjemaah secara rutin telah mengajarkan remaja kedisiplinan dan tanggung jawab.
Adanya budaya lalok di surau dalam masyarakat Minangkabau dapat memberikan nilai kebersamaan. Remaja yang lalok di surau akan merasakan kebersamaan yang erat, karena  mereka berinteraksi dengan banyak orang, tidak hanya dengan teman sebaya namun juga dengan yang lebih muda bahkan yang lebih tua. Mereka akan belajar bagaimana saling menghargai dan bersosialisasi dengan baik. Dengan rasa kebersamaan yang telah tertanam pada usia dini, akan mengajarkan para remaja untuk saling tenggang rasa, bekerja sama, dan gotong royong di tengah masyarakat, sehingga mereka mendapatkan bekal jika pergi  merantau saat dewasa kelak.
Tujuan utama dari lalok di surau adalah mengajarkan para remaja menjadi muslim sejati. Sebab mereka diajarkan hukum Islam secara mendalam serta memahami tafsir Al-Qur’an yang akan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam menjalani kehidupan di masa depan.
Saat ini, keberadaan surau di perkampungan sudah sulit ditemukan. Meskipun ada, kondisi fisik dan fungsinya jauh berbeda. Saat ini tidak banyak lagi para remaja yang lalok di surau, bahkan untuk mengaji setelah shalat magrib pun sudah jarang ditemukan. Sedangkan lalok di surau merupakan kebudayaan Minangkabau yang bisa membentuk karakter dan kepribadian para remaja. Dengan semakin berkembangnya zaman, tanpa kita sadari keberadaan surau pun mulai terlupakan. Budaya Minagkabau ini haruslah dibangkitkan kembali dengan menyadarkan dan mengingatkan para remaja betapa pentingnya ilmu yang didapat dalam kegiatan lalok di surau, terutama bagi remaja laki-laki.
“Dalam kasus ini terjadi sebuah kesenjangan dalam penghayatan budaya antar generasi bangsa, lemahnya kemampuan mengaktulisasikan nilai-nilai budaya masyarakat Minangkabau dalam rangka menangkal akibat negatif budaya moderen. Kelembagaan adat yang belum fungsional”, ungkap Muslim Kasim saat acara seminar PKDP di Aula kantor Bupati Padangpariaman, Kamis (16/9/2010) lalu.
Budaya lain tidak lain adalah sebuah opsi apakah seorang  individu akan apliaksikan atau eliminirkan, kalau dipakai maka berkuranglah kecintaannya terhadap budaya awal (Minangkabau) dan mengakibatkan suatu fundametal dari pengasung kebudayaan Minangkabau telah keropos dan implikasinya apabila semua anak muda Minang diintervensi budaya lain, maka budaya Minang akan ditinggalkan tanpa syarat. Keadaan jiwa yang terlalu bebas dalam artian tidak punya sense, maka dia akan melahirkan apatisme, sebuah sifat ketidakpedulian. Berawal dari sebuah perspektif yang tidak digubris, lama-kelamaan perihal ini menjadi bentuk yang lebih ekstrim lagi, yang dinamakan apatisme.
Dalam kebudayaan Minangkabau yang kompleks seorang indvidu yang tak punya ekses untuk membongkar dan membedah isi kebudyaannya akan melihat kebudayan Minangkabau dalam perspektifnya adalah sia-sia dan tiada bermakna (absurd), lantaran dia tidak bisa berpartisipasi secara individu yang konkret, maka dia akan berpikir untuk mencoba melupakan saja budaya Minangkabau ini, lalu akibat melupakan maka dia tidak akan punya keberpihakan atau keikutsetaan dalam berevolusinya kebudayaan Minangkabau, maka individu tadi tidak akan pernah reaktif apalagi proaktif terhadap kebudayaannya. Akibat gap yang terlalu menganga akibat dari perubahan zaman maka seorang yang telah klop dan ikut arus dalam kebudayaan Minangkabau (kaum tua) dengan seorang yang pemula melahirkan degenerasi, atau ketidakberlanjutan. Degenerasi tentunya akan melahirkan sebuah kekosongan dalam kepercayaan ( vacuum of believe), kekosongan kepercayaan tersebut membuat Minangkabau menjadi simbolis semata sedangkan isinya hampa.
Oleh karena itu,sangat dibutuhkan komitmen dari semua pihak baik pemerintah,kaum pemuka adat,masyarakat untuk menemukan solusinya. Orang Minang harus berpikir dengan keras agar mereka tidak akan merasakan kepunahan geneologis nenek moyangnya. Persatuan dalam bentuk bicara saja tidak dibutuhkan saat sekarang ini, yang dibutuhkan adalah aksi, aksi yang konkret. Tidak lama lagi atau kapan tantangan masa depan ini pasti akan menang, atau akankah tantangan itu akan terlampaui oleh orang Minang?.
Memang, untuk kembali kepada situasi surau di zaman dulu rasanya juga kurang pas dihadapkan dengan kondisi sekarang. Orangtua mana saat ini yang merelakan anak remajanya tidur di surau (rasanya sulit dibayangkan). Tetapi paling tidak yang kita inginkan sekarang adalah bagaimana surau kembali dijadikan tempat belajar dan diskusi agama bagi para remaja/masyarakat Minangkabau umumnya serta setiap jadwal shalat surau ramai dengan jamaah. Disamping itu juga surau kembali dapat digunakan sebagai tempat pengembangan adat dan budaya minangkabau, sesuai dengan semboyan Urang Minang “Adaik basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”. Menjadikan surau sebagai salah satu institusi pembentuk karakter dan kepribadian yang Islami masih mungkin dilakukan. Misalnya saja membiasakan generasi muda  untuk memakmurkan surau dengan berbagai kegiatan-kegiatan Islami. Kita perhatikan selama ini surau saat ini hanya dijadikan sebagai tempat pengajaran Al Quran, bukan sebagai wadah untuk membentuk pribadi islami.

Dengan memaksimalkan kembali fungsi surau sebagai pembentuk pribadi yang islami, maka nuansa religiusitas yang sempat dirasakan generasi sebelum kita, dapat kita rasakan kembali nantinya.Karena seharusnya perubahan tidak mesti mengganti sifat adat,karena alam dipakai usang dan adat yang dipakai tetap baru.
“Alang tukang tabuang kayu,
Alang cadiak binaso adat,
Alang alim rusak agamo,
Alang sapaham kacau nagari.

Dek ribuik kuncang ilalang,
Katayo panjalin lantai,
Hiduik jan mangapalang,
Kok tak kajo barani pakai.

Baburu kapadang data,
Dapeklah ruso balang kaki,
Baguru kapalang aja,
Bak bungo kambang tak jadi”. 
Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Enter your comment..