Surau merupakan sebutan untuk tempat ibadah bagi masyarakat muslim yang berada di kampung. Surau biasanya dibangun di tepi-tepi sungai dan di ujung desa yang bertujuan agar dapat menjaga kekhusyukan masyarakat dalam melaksanakan ibadah. Selain itu, surau juga dijadikan sebagai identitas umat Islam di perkampungan Minangkabau.
Selain
sebagai tempat beribadah, surau juga merupakan tempat persinggahan dan
istirahat bagi para musafir. Mereka memanfaatkan surau-surau yang ada disetiap
kampung tersebut untuk menyebarkan agama Islam dan berbagi pengalaman hidup.
Surau juga sering dimanfaatkan sebagai tempat mengaji bagi anak-anak dan
remaja. Tidak hanya itu, seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 6-7 tahun
sudah diwajibkan untuk lalok di surau dan itu telah menjadi
budaya di masyarakat Minangkabau sejak dahulunya. Kegiatan mereka ini dimulai
dengan shalat magrib berjama’ah, setelah itu dilanjutkan dengan mengaji , dan
mendalami ilmu agama Islam yang biasanya diajarkan oleh ustad yang ada di
kampung. Mereka mendalami hukum agama Islam, belajar bagaimana berakhlak yang
baik dan juga diberi bekal dengan berbagai pengalaman untuk menghadapi
kehidupan di masa datang. Setelah shalat isya berjama’ah, barulah para
remaja mempelajari tafsir Al-Quran dan bagi yang lebih dewasa mereka diajarkan
pencak silat, lalu mereka beristirahat. Para remaja ini biasanya juga
melaksanakan shalat subuh berjama’ah, setelah itu mereka kembali ke rumah
masing-masing.
Kegiatan
tersebut bertujuan untuk mengajarkan kemandirian dan kedisiplinan terhadap
remaja. Mereka diwajibkan untuk lalok di surau, dengan begitu bisa
mereka belajar mandiri diusia dini dan tidak lagi mengandalkan orang tua
melainkan mereka bisa belajar bersosialisasi dan menghargai teman. Shalat
berjemaah secara rutin telah mengajarkan remaja kedisiplinan dan tanggung
jawab.
Adanya
budaya lalok di surau dalam masyarakat Minangkabau dapat memberikan
nilai kebersamaan. Remaja yang lalok di surau akan merasakan
kebersamaan yang erat, karena mereka berinteraksi dengan banyak orang,
tidak hanya dengan teman sebaya namun juga dengan yang lebih muda bahkan yang
lebih tua. Mereka akan belajar bagaimana saling menghargai dan bersosialisasi
dengan baik. Dengan rasa kebersamaan yang telah tertanam pada usia dini, akan
mengajarkan para remaja untuk saling tenggang rasa, bekerja sama, dan gotong
royong di tengah masyarakat, sehingga mereka mendapatkan bekal jika pergi
merantau saat dewasa kelak.
Tujuan utama
dari lalok di surau adalah mengajarkan para remaja menjadi muslim
sejati. Sebab mereka diajarkan hukum Islam secara mendalam serta memahami
tafsir Al-Qur’an yang akan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam menjalani
kehidupan di masa depan.
Saat ini,
keberadaan surau di perkampungan sudah sulit ditemukan. Meskipun ada, kondisi
fisik dan fungsinya jauh berbeda. Saat ini tidak banyak lagi para remaja yang lalok
di surau, bahkan untuk mengaji setelah shalat magrib pun sudah
jarang ditemukan. Sedangkan lalok di surau merupakan kebudayaan
Minangkabau yang bisa membentuk karakter dan kepribadian para remaja. Dengan
semakin berkembangnya zaman, tanpa kita sadari keberadaan surau pun mulai
terlupakan. Budaya Minagkabau ini haruslah dibangkitkan kembali dengan
menyadarkan dan mengingatkan para remaja betapa pentingnya ilmu yang didapat
dalam kegiatan lalok di surau, terutama bagi remaja laki-laki.
“Dalam kasus
ini terjadi sebuah kesenjangan dalam penghayatan budaya antar generasi bangsa,
lemahnya kemampuan mengaktulisasikan nilai-nilai budaya masyarakat Minangkabau
dalam rangka menangkal akibat negatif budaya moderen. Kelembagaan adat yang
belum fungsional”, ungkap Muslim Kasim saat acara seminar PKDP di Aula kantor
Bupati Padangpariaman, Kamis (16/9/2010) lalu.
Budaya
lain tidak lain adalah sebuah opsi apakah seorang individu akan apliaksikan atau eliminirkan,
kalau dipakai maka berkuranglah kecintaannya terhadap budaya awal (Minangkabau)
dan mengakibatkan suatu fundametal dari pengasung kebudayaan Minangkabau telah
keropos dan implikasinya apabila semua anak muda Minang diintervensi budaya
lain, maka budaya Minang akan ditinggalkan tanpa syarat. Keadaan jiwa yang
terlalu bebas dalam artian tidak punya sense, maka dia akan melahirkan
apatisme, sebuah sifat ketidakpedulian. Berawal dari sebuah perspektif yang
tidak digubris, lama-kelamaan perihal ini menjadi bentuk yang lebih ekstrim
lagi, yang dinamakan apatisme.
Dalam
kebudayaan Minangkabau yang kompleks seorang indvidu yang tak punya ekses untuk
membongkar dan membedah isi kebudyaannya akan melihat kebudayan Minangkabau
dalam perspektifnya adalah sia-sia dan tiada bermakna (absurd), lantaran dia
tidak bisa berpartisipasi secara individu yang konkret, maka dia akan berpikir
untuk mencoba melupakan saja budaya Minangkabau ini, lalu akibat melupakan maka
dia tidak akan punya keberpihakan atau keikutsetaan dalam berevolusinya
kebudayaan Minangkabau, maka individu tadi tidak akan pernah reaktif apalagi
proaktif terhadap kebudayaannya. Akibat gap yang terlalu menganga akibat dari
perubahan zaman maka seorang yang telah klop dan ikut arus dalam kebudayaan
Minangkabau (kaum tua) dengan seorang yang pemula melahirkan degenerasi, atau
ketidakberlanjutan. Degenerasi tentunya akan melahirkan sebuah kekosongan dalam
kepercayaan ( vacuum of believe), kekosongan kepercayaan tersebut membuat
Minangkabau menjadi simbolis semata sedangkan isinya hampa.
Oleh karena itu,sangat dibutuhkan komitmen dari semua pihak baik
pemerintah,kaum pemuka adat,masyarakat untuk menemukan solusinya. Orang Minang
harus berpikir dengan keras agar mereka tidak akan merasakan kepunahan
geneologis nenek moyangnya. Persatuan dalam bentuk bicara saja tidak dibutuhkan
saat sekarang ini, yang dibutuhkan adalah aksi, aksi yang konkret. Tidak lama
lagi atau kapan tantangan masa depan ini pasti akan menang, atau akankah
tantangan itu akan terlampaui oleh orang Minang?.Memang, untuk kembali kepada situasi surau di zaman dulu rasanya juga kurang pas dihadapkan dengan kondisi sekarang. Orangtua mana saat ini yang merelakan anak remajanya tidur di surau (rasanya sulit dibayangkan). Tetapi paling tidak yang kita inginkan sekarang adalah bagaimana surau kembali dijadikan tempat belajar dan diskusi agama bagi para remaja/masyarakat Minangkabau umumnya serta setiap jadwal shalat surau ramai dengan jamaah. Disamping itu juga surau kembali dapat digunakan sebagai tempat pengembangan adat dan budaya minangkabau, sesuai dengan semboyan Urang Minang “Adaik basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”. Menjadikan surau sebagai salah satu institusi pembentuk karakter dan kepribadian yang Islami masih mungkin dilakukan. Misalnya saja membiasakan generasi muda untuk memakmurkan surau dengan berbagai kegiatan-kegiatan Islami. Kita perhatikan selama ini surau saat ini hanya dijadikan sebagai tempat pengajaran Al Quran, bukan sebagai wadah untuk membentuk pribadi islami.
Dengan memaksimalkan kembali fungsi surau sebagai pembentuk pribadi yang islami, maka nuansa religiusitas yang sempat dirasakan generasi sebelum kita, dapat kita rasakan kembali nantinya.Karena seharusnya perubahan tidak mesti mengganti sifat adat,karena alam dipakai usang dan adat yang dipakai tetap baru.
“Alang
tukang tabuang kayu,
Alang cadiak
binaso adat,
Alang alim
rusak agamo,
Alang
sapaham kacau nagari.
Dek ribuik
kuncang ilalang,
Katayo
panjalin lantai,
Hiduik jan
mangapalang,
Kok tak kajo
barani pakai.
Baburu
kapadang data,
Dapeklah
ruso balang kaki,
Baguru
kapalang aja,
Bak bungo
kambang tak jadi”.
Sumber: